Lrt Palembang Masinis Lrt Palembang
Policy changes resulting in the end of the Palembang War
Sultan Mahmud Badaruddin II would be removed from his position by Dutch authority and replaced by his son, Sultan Ahmad Najamuddin III,[10] who would maintain slight political power for 4 years until his status as Sultan was revoked by Dutch officials after he had attempted to escape to the Bengkulu region. In 1821 the Dutch implemented a Bureaucracy with an appointed governor and regional heads of authority to manage assigned districts of the area. They were considered a higher power than of that of the Sultan. Islamic religious courts were not altered.[11]
When the Sultanate was abolished, so was the allowance given to Palembang nobles by the Dutch government. Regional control and influence of the Sultanate and its officials would decrease over time and be directly influenced by Dutch decisions and policy. Ports were to be opened and improved to promote trade to other countries as the Sumatra region hosted a center for peppers.[12] There would be an increase to the immigration as a result, primarily Chinese and Arab merchants.[10] The Dutch oil company Shell moved into Palembang in 1904 to begin production.
Currently, there are two separate claimants to the sultanate, each running their own courts.
In 2003, the Palembang Sultanate Custom Community Council (Indonesian: Majelis Adat Kesultanan Palembang Darussalam) recognized Raden Haji Muhammad Syafei Prabu Diradja, a retired police officer, as a descendant of Sultan Mahmud Badaruddin II and proceeded to elect him as Sultan Mahmud Badaruddin III. The coronation took place in Lawang Kidul Mosque, near the tomb of Sultan Mahmud Badaruddin I (reigned 1724–1756).[13] The elderly Mahmud Badaruddin III later died on 8 September 2017, and was succeeded by his youngest son and heir apparent Raden Muhammad Fauwaz Diradja, who reigned as Mahmud Badaruddin IV.[14]
In 2006, Haji Raden Mahmud Badaruddin, chairman of Palembang Sultanate Lineage Association (Indonesian: Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam), was crowned Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin following an adat deliberation. He is a direct male-line descendant of Prince Purboyo, son of Sultan Muhammad Mansyur, and the daughter of Mahmud Badaruddin I. The Palembang Sultanate was formally abolished in 1825, the sultans hold no authority beyond cultural and customary duties.[15]
Lists of Sultans of Palembang
Kiagus Muhammad Saleh (Kyai Saleh Lateng Banyuwangi)[17]
Informasi lebih lanjut: Kyai Saleh Lateng
Kyai Saleh Lateng adalah seorang ulama yang datuknya (Kiagus Abdurrahman) berasal dari Kesultanan Palembang Darussalam. Kyai Saleh Lateng lahir pada tanggal 7 Maret 1862 M di Banyuwangi, Jawa Timur. Ketika kecil, Kyai Saleh belajar mengaji pada kedua orang tuanya hingga sampai usia 15 tahun. Kemudian, beliau pergi menimba ilmu di beberapa Pondok Pesantren di Kyai Mas Ahmad, Kebon Dalem, Surabaya. Tak Lama kemudian, beliau melanjutkan mondok ke Syaikhona Khalil Bangkalan, Madura.
Kyai Saleh memiliki banyak murid yang tidak hanya murid itu datang ke Kyai Saleh untuk menimba ilmu agama, bahkan banyak pemuda yang datang ke Kyai Saleh untuk Mempelajari ilmu kanuragan. Kyai Saleh juga pernah berguru ke Tuan Guru Muhammad Said, Jembrana, Bali untuk menimba Ilmu Agama, bahkan untuk mendalami Ilmu Agama, Kyai Saleh rela pergi ke Tanah Suci Mekkah untuk meneruskan pelajaran Ilmu Agamanya.
Setelah usia 38 Tahun, Kyai Saleh pulang ke kampung halamannya di Lateng untuk menyebarkan pemikiran agamanya hingga ke pelosok Banyuwangi. Dulunya Banyuwangi terkenal sebagai daerah yang penuh dengan pertikaian, namun dengan pencerahan terus menerus dari Kyai Saleh perkelahian itu dapat disingkirkan dan beliau juga telah membuat insaf bromocorah.
Kyai Saleh pernah mengikuti Jihad di Surabaya melawan Belanda bersama santrinya. Bahkan, beliau juga anti terhadap Belanda, Hal itu dapat dibuktikan dari sikap Kyai Saleh yang melarang keluarganya meniru kebiasaan Belanda, seperti memakai jas, celana, serta sekolah di sekolah Belanda.[18]
Van Der Plass yang notabenenya ialah Residen Belanda di Banyuwangi pernah mendatangi Kyai Saleh untuk memberikan bantuan terhadap pondoknya, Namun Kyai Saleh menolaknya dengan mentah-mentah. Beliau juga merupakan pencetus berdirinya Departemen Agama, karena Kyai Saleh saat itu men yumbang buku buatannya, yaitu Kitab Mu’jamul Buldan kepada Departemen Agama dan hingga saat ini masih menjadi rujukan.
Kyai Saleh Lateng merupaasabkan tipikal kyai penggerak. Beliau memegang peranan startegis dalam mengkonsolidasi jaringan ulama-santri untuk berdakwah dan mengawal kemerdekaan Indonesia. Kyai Saleh Lateng juga menjadi kyai penting pada masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, bersama Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Kyai Wahab Chasbullah, Kyai Bisri Syansuri dan beberapa kyai lainnya di penjuru Nusantara.
Pada awalnya, Kyai Saleh Lateng menggerakkan Sarekat Islam. Hal ini merupakan hal yang lumrah, karena pada awal abad 20, pergerakan Sarekat Islam menjadi gerbong bagi para kyai-santri untuk menyuarakan kemerdekaan dan mengorganisasi diri. Meski pada akhirnya para kyai memisahkan diri dari pergerakan Sarekat Islam. Hal ini juga terjadi pada Kyai Wahab Chasbullah, yang pernah menjadi penggerak Sarekat Islam sewaktu mengaji di Hijaz. Ketika kembali ke tanah air, Kyai Wahab Chasbullah membentuk organisasi sendiri dengan merangkul kyai santri, dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, hingga kemudian terbentuklah Nahdlatul Ulama.
Kyai Saleh Lateng, yang pada awalnya menggerakkan Sarekat Islam di Banyuwangi, kemudian menjadi tokoh penting dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bahkan, pada 1913, Kyai Saleh Lateng memimpin Rapat Umum Sarekat Islam di Kawedanan Glenmore Banyuwangi. Dengan demikian, peranan Kyai Saleh dalam menggerakkan jaringan Islam di awal abad 20, diakui memiliki kontribusi penting. Ketika Komite Hijaz dibentuk, Kyai Saleh Lateng bergabung bersama barisan kyai. Ikatan emosional ketika mengaji di beberapa pesantren, terutama pesantren Bangkalan dan Makkah, menambah kekuatan komunikasi antara Kyai Saleh dengan beberapa kyai lainnya.
Ketika masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, yakni pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926, Kyai Saleh Lateng ditunjuk oleh Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy'ari dan Kyai Wahab Chasbullah menjadi anggota muassis-mukhtasar (formatur) pendirian Nahdlatul Ulama.
Pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi yang dipimpin oleh Kyai Saleh Lateng, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam (tanggal 24 April itulah yang kemudian dikenal sebagai tanggal kelahiran Gerakan Pemuda Ansor).
Kyai Saleh Lateng menghembuskan napas terakhir pada malam Rabu, 29 Dzulqo'dah 1371 H/ 20 Agustus 1952 pada usia 93 tahun. Jenazahnya dikebumikan di sebelah musholla (Langgar), tempat Kyai Saleh Lateng biasa memberikan pengajian kepada santri-santrinya. Pada tahun 1956, DPRD Kabupaten Banyuwangi memberikan keputusan penggunaan nama Kyai Saleh Lateng untuk sebuah ruas jalan. Keputusan DPRD Banyuwangi ini untuk menghormati perjuangan dan pengabdian Kyai Saleh Lateng dalam mendidik warga sekaligus berjuang untuk negeri.
Establishment and early records
According to the story of Kidung Pamacangah and Babad Arya Tabanan[2] it was said that a figure from Kediri named Arya Damar who was a "regent of Palembang" joined Gajah Mada, ruler of Majapahit in conquering Bali in 1343. Historian C.C. Berg thought that Arya Damar was identical to Adityawarman. The name Palembang was also mentioned in Nagarakretagama as one of the conquered lands of Majapahit. Gajah Mada also mentioned the name Palembang in Pararaton as one of the regions that he conquered.
A Chinese chronicle Chu-fan-chi written in 1178 by Chou-Ju-Kua recorded the name Pa-lin-fong, a reference to Palembang. Around 1513, Tomé Pires an adventurer from Portugal mentioned Palembang, a kingdom which is led by a patron who was appointed from Java and was then referred to as the Sultanate of Demak and participated in the invasion of Portuguese Controlled Melaka. In 1596, Palembang was attacked and razed by the Dutch East India Company. In 1659, the name Sri Susuhunan Abdurrahman was recorded as sovereign of the Palembang Sultanate. Records of connection with the VOC have been mentioned since the year 1601.
At the beginning of the 17th century, Palembang became one of the centers of Islam in Indonesia. The precursor of the sultanate in Palembang was founded by Ki Gede ing Suro, a nobleman from the Demak Sultanate, who took refuge in friendly Palembang during the troubles following the death of Trenggana of Demak. On the north bank of the Musi River, he and the nobilities established a kraton, the Kuto Gawang. It was located quite strategically on the riverfront of the Musi, in the present 2-Ilir District, within what is now the complex of PT. Pupuk Sriwidjaja, a state-run fertilizer manufacturer. The Kraton of Kuto Gawang was surrounded by a square-shaped fortification made of 30 centimetres (12 in) thick ironwood and ulin wood. It is described to be about 290 Rijnlandsche roede (1093 meters) in length and width. The height of the wooden ramparts is more than 24 feet (7.3 m). The Kraton stretches between what is now Plaju and Pulau Kemaro, a small island located in the middle of the Musi River.[5]
The Kraton of Kuto Gawang was sketched by Joan van der Laen in 1659. The sketch shows a fortified city facing the Musi River with the Rengas River running through the middle part of the city from north to south. The Taligawe River is located to the east of Kuto Gawang, while to the west is the Buah River. In the middle of Kuto Gawang is a structure, possibly a mosque, located to the west of the Rengas River. The Kraton was described to also have three stone bastions. Foreigners (e.g. the Chinese and Portuguese) were known to settle on the banks of the Musi River opposite of the Kraton, to the west of the mouth of the Komering River.[5]
In 1659, the Dutch of the Dutch East India Company attacked and razed Kraton Kuto Gawang. The Susuhunan (king) Abdurrahman later moved his court to a new site called Beringin Janggut.[5]
Tempat Pekerjaan Menemukanmu !
Early modern Sumatran sultanate
The Sultanate of Palembang Darussalam (Malay: كسلطانن ڤلمبڠ دارالسلام) was a sultanate in Indonesia whose capital was the city of Palembang in the southern part of the Indonesian island of Sumatra.[1] It was proclaimed in 1659 by Susuhunan Abdurrahman (1659–1706) and dissolved by the colonial government of the Dutch East Indies on October 7, 1823. In 1825, its last ruler, Sultan Ahmad Najamuddin, was arrested and sent into exile on the island of Banda Neira in the Moluccas.
Javascript tidak aktif!
Website ini memerlukan javascript untuk dapat berfungsi dengan baik.
Tolong aktifkan javascript pada browser anda.
Jarak antara kota Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia dan Jambi, Jambi, Indonesia di jalan umum adalah — km atau mil. Jarak antara titik-titik dalam koordinat — 201 km atau 120.6 mil. Untuk mengatasi jarak ini dengan kecepatan kendaraan rata-rata 80 km / jam membutuhkan — 2.5 jam atau 150.8 menit.
Panjang jarak ini adalah tentang 0.5% total panjang khatulistiwa. Pesawat Airbus A380 akan terbang jarak di 0.2 jam, dan kereta 2.9 jam (Ada kereta berkecepatan tinggi).
Syekh Abdus Somad Al-Falimbani[14]
Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani adalah seorang tokoh sufi penulis kitab-kitab sufi yang berasal dari Palembang.[15] Abdus Shamad lahir pada 1116 H (1704) M dan wafat pada 1203 H (1789 M) dalam usia 85 tahun,[15] di Palembang.[butuh rujukan] Tentang nama lengkap Syeikh Al-Falimbani, yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, dia bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falembani. Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu, bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Falembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Dari ketiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi berpendapat bahawa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.
Perbedaan pendapat mengenai nama ulama ini dapat difahami mengingat sejarah panjangnya sebagai pengembara, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dalam menuntut ilmu. Apabila dilihat latar belakangnya, ketokohan Al-Falembani sebenarnya tidak jauh berbeda dari ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdurrauf as-Singkili, Yusuf Al-Makasari.
Dari Persegi silsilah, nasab Syeikh Al-Falembani berketurunan Arab, dari sebelah ayah. Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Falembani, adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantikmenjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
Daftar Sultan Palembang
Masagus Abdul Hamid (Kyai Marogan)[16]
Kyai Marogan adalah seorang ulama yang berasal dari Palembang. Kyai Marogan lahir pada tahun 1082 M dan wafat pada tahun 1091 M dalam usia 89 tahun, di Palembang. Pada usia muda, Kiai Marogan dikenal giat berbisnis di bidang saw-mill atau perkayuan. Beliau memiliki dua buah pabrik penggergajian kayu. Bakat beliau ini diperoleh dari ibunya yang berdarah Tionghoa. Berkat suksesan dalam bisnis kayu ini membuat Kiai Marogan untuk berangkat ke tanah suci dan dan sepulangnya dari tanah suci beliau menjalankan kegiatan penyebaran dakwah di pedalaman Sumatera Selatan.
Dari hasil bisnis usaha kayunya Kiai Marogan mampu mendirikan sejumlah masjid yang dipergunakan sebagai pusat kajian dan dakwah. Banyak ajaran Kiai Marogan yang masih dilantunkan oleh sebagian penduduk Palembang, di antaranya adalah sebuah dzikir: “La ilaha Illallahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin”, yang artinya “Tiada Tuhan Selain Allah, Raja Yang Benar dan Nyata, Muhammad adalah Rasulullah Yang Jujur dan Amanah.”
Dzikir yang diamalkan oleh Kiai Marogan di atas, ternyata berasal dari hadis yang berbunyi:
"Dari Sayyidina Ali Ra Karramallahu wajhahu berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa setiap hari membaca la laha illallahul malikul haqqul mubin maka bacaan itu akan menjadi keamanan dari kefakiran dan menjadi penenteram dari rasa takut dalam kubur." (HR. Abu Nu'aim dan Ad-Dailami).
Konon, amalan zikir ini selalu dibaca oleh Kiai Marogan beserta murid-murid beliau dalam perjalanan di atas perahu. Sambil mengayuh perahu, beliau menyuruh murid-murid beliau untuk mengucapkan zikir tersebut berulang-ulang sepanjang perjalanan dengan suara lantang.
Selain amalan dzikir ini, Kyai Marogan juga memiliki karomah, diantaranya:
Dari Persegi silsilah, nasab Kyai Marogan berketurunan Arab, dari sebelah ayah. Masagus H. Mahmud Kanang bin Masagus Taruddin , ayah Kyai Marogan, adalah ulama yang merupakan keturunan Sultan Palembang Darussalam yang bernama Susuhanan Abdurrahman yang nasabnya sampai Rasululllah. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Keturunan Tionghoa yang bernama Perawati.
Kraton Beringin Janggut
After the Kuto Gawang was destroyed by the Dutch East India Company forces in 1659, Susuhunan Abdurrahman ordered the court to move to the new Kraton, the Beringin Janggut, which was located in the vicinity of the Old Mosque (now Jalan Segaran). There is no written record of how is the shape, size, or existence of Beringin Janggut.[5]
The area of the Kraton Beringin Janggut was known to be surrounded by a network of canals: the Musi River to the south, the Tengkuruk River to the west, Penedan canal to the north, and Rendang or Karang Waru River to the east. The Penedan Canal was connected with the Kemenduran, Kapuran, and Kebon Duku canals. The network of canals was the main mode of transportation for people during this period of the Sultanate.[5]